Produk utama yang dihasilkan berupa pot tanaman, guci, kendi (bejana kecil untuk menyimpan air), celengan (tempat menabung uang), dan tempat ari-ari atau plasenta bayi. Wajah Desa Melikan ini tak jauh beda dengan desa-desa agraris lainnya.
Sebuah gambaran desa yang dikelilingi hijau pertanian, bukit, dan rawa dengan masyarakatnya yang selalu menyambut tamu dengan keramahan. Sungai-sungai di sekitarnya melimpah dikala musim penghujan dan mengering ketika kemarau tiba. Di lingkungan alam pedesaan seperti itulah masyarakat setempat sehari-hari bergulat dengan tanah Hat dalam menghasilkan gerabah.
Memasuki Desa Melikan yang ditandai dengan gapura ucapan Selamat Datang, nuansa desa penghasil kerajinan gerabah begitu mengental. Tak lebih dari seratus meter dari gapura, kedai-kedai berjajar di kiri kanan jalan berlomba-lomba memamerkan beragam bentuk kerajinan berbahan tanah liat yang dibakar tersebut.
Masing-masing kedai memiliki selera yang hampir serupa dalam mengatur etalasenya. Rak-rak kayu susun tiga yang diletakkan membentuk lorong, juga lantai yang dibuat bertingkat sehingga mempermudah pemajangan aneka gerabah untuk tidak saling menutupi.
Gerabah sejenis diletakkan teratur dalam satu deret. Dengan begitu, pengunjung yang biasanya ramai pada awal bulan akan lebih nyaman memilih gerabah yang mereka inginkan.
Rata-rata kedai tersebut hanya merupakan ruang pajang produk-produk gerabah. Sementara untuk melihat proses pembuatan gerabah, kita harus sedikit meluangkan waktu dengan mengunjungi sanggar-sanggar yang terletak masuk ke pelosok dusun. Melalui jalan-jalan dusun yang ada di samping kiri kanan kedai-kedai tersebut, kesibukan pembuatan gerabah akan segera terlihat tak jauh dari mulut jalan. Deretan produk-produk tanah liat yang dijemur di pekarangan rumah warga setempat seolah-olah menyambut kedatangan kita.
Beberapa ibu tampak sibuk menghaluskan kendi di teras rumah. Tak jauh dari situ kaum pria memuati sebuah gerobak dengan celengan-celengan yang terangkai dalam satu ikatan. Suara roda yang berputar terdengar di balik dinding rumah yang kebanyakan terbuat dari anyaman bambu manakala aktivitas membentuk gerabah sedang berlangsung.
Hampir semua masyarakat terlibat dalam proses pembuatan gerabah yang menjadi penyambung nafas warga Dusun Pagerjurang ini. Setiap rumah biasanya memiliki ruang sanggar dan tungku pembakaran gerabah sendiri. Terkadang satu tungku untuk beberapa rumah. Sementara itu untuk sanggar tempat pembuatan gerabah terkadang tidak memerlukan tempat khusus melainkan menyatu dengan ruangan lain seperti ruang makan, ruang keluarga, maupun dapur.
Bisa dikatakan masyarakat Pagerjurang tak bisa lepas dari gerabah dalam kesehariannya. Mereka larut dalam menghasilkan produk-produk baik dalam skala kecil maupun besar untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Sedikitnya 2 kontainer produk gerabah Pagerjurang terbang ke Italia dan Australia setiap bulannya.
Selain menggunakan roda putar (perbot) yang dipasang miring, teknik ini juga dilengkapi dengan pedal dan pegas dari bambu yang digerakkan dengan kaki. Proses pemutaran roda perbot dibantu dengan lulup (tali dari hati pohon waru) yang diikatkan pada galih (tangkai) perbot. Selama proses pembuatan gerabah, pengrajin mengolah tanah liat duduk di atas dingklik (kursi kayu kecil) dengan posisi menyamping. Posisi lempengan yang condong beberapa derajat ke depan membuat gerabah yang dihasilkan kecil dan pendek dengan lebar maksimal 23,5 cm dan tinggi 30 cm.
Keterbatasan ini justru membuat benda-benda hasil kerajinan masyarakat Dusun Pagerjurang memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut didukung oleh kualitas tanah liat di Pagerjurang yang menurut Purwadi lebih bagus dibandingkan dengan daerah lain sehingga gerabah yang dihasilkan lebih halus, lebih tipis, dan tanpa sambungan.
Teknologi pembuatan gerabah yang konon tumbuh sejak masa Sunan Bayat di tahun 1700-an ini mengandung nilai-nilai etika yang sangat tinggi. Seiring dengan syiar agama Islam yang dilakukan, Sunan Bayat juga mengajarkan cara hidup yang beretika yang dilandasi kerukunan dan kegotong-royongan.
Prinsip kerukunan dan kegotong-royongan tersebut terutama sekali diterapkan dalam komunitas yang paling kecil, lingkungan keluarga. Di dalam sebuah keluarga pengrajin gerabah terdapat pembagian tugas antara bapak, ibu, dan anak. Sang bapak misalnya, bertugas mencari tanah liat, membakar gerabah, kemudian menjualnya, sedangkan si anak membantu menjemur gerabah basah. Sementara si ibu bertugas mengolah tanah liat menjadi produk-produk gerabah.
Teknik putaran miring ini diperkirakan berkembang sebagai satu jawaban atas dua hal, yaitu untuk memudahkan proses produksi yang saat itu umumnya dilakukan oleh kaum perempuan sekaligus memungkinkan mereka melakukan pekerjaannya sesuai dengan etika yang berlaku. Secara ergonomis, teknik putaran miring memberi kemudahan kerja bagi kaum perempuan yang pada masa itu biasa mengenakan kain kebaya yang panjang. Secara etika, mereka juga dituntut untuk menjunjung nilai-nilai kesopanan dengan duduk miring dan tidak membuka paha saat mengolah tanah liat.
Selain itu, teknik putaran miring memudahkan tanah untuk melebar karena adanya pengaruh gravitasi, sehingga produk dapat dibuat dengan mudah dan cepat dalam jumlah banyak tanpa harus mengeluarkan tenaga yang berlebihan seperti yang terjadi pada teknik putar datar. Satu produk gerabah rata-rata membutuhkan waktu hanya sekitar 3 menit untuk pembuatannya.
Saat ini, sebagian besar pengrajin gerabah di Pagerjurang masih tetap menggunakan teknik putaran miring dan beberapa melengkapinya dengan teknik putar biasa (putaran datar). Jejak kecerdasan dan kearifan leluhur akan tetap lestari meski jaman telah berganti.
Sumber: Majalah Travel Club
Jumat, 05 Februari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)